Bila dicermati, kini muncul pula permasalahan baru tentang pengukuhan
Pancasila sebagai falsafah dasar kehidupan berbangsa dan bernegara. Maret 2013
lalu, ketua MPR RI Taufiq Kiemas mewakili lembaga negara yang dipimpin, memperoleh
gelar kehormatan doctor honoris causa (H.C) dari Universitas Trisakti
atas jasanya telah melahirkan gagasan sosialisasi empat pilar kebangsaan
Indonesia, yakni Pancasila, Bhineka Tunggal Ika, Undang Undang Dasar (UUD)
1945, dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Gagasan yang gencar
disosialisasikan sejak 3 tahunan lalu oleh lembaga MPR RI tersebut dinilai
sangat efektif guna menanamkan kembali nilai-nilai luhur yang perlu dijadikan
acuan dan pedoman bagi setiap warga negara dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara.
Secara awam, mungkin kebijakan MPR itu perlu diapresiasi sebagai inovasi
jitu mengatasi disorientasi Bangsa yang sedang berlangsung. Namun, masih ada
banyak pihak yang cermat dan peduli, mereka segera merespon untuk mengoreksi
langkah inovatif tersebut. Sejumlah ormas, elemen mahasiswa, LSM, partai
politik, hingga tokoh nasional pun muncul dengan penolakan keras menuduhnya
sebagai bentuk kesesatan berfikir, dan menuntut untuk tidak memposisikan
Pancasila sebagai pilar dan disejajarkan dengan nilai-nilai lainnya.
MPR RI melalui wakil ketuanya Lukman Hakim Saifudin, mengklarifikasi agar
masyarakat jangan salah mengerti, dalam KBBI pilar itu juga bisa diartikan
sebagai dasar, maka juga berarti dasar penyangga kehidupan berbangsa untuk konteks
Pancasila dalam konsep sosialisasi 4 pilar tersebut. Dalam artikel
opininya di harian KOMPAS (1/6) kemarin, guru besar UI Prof. Sri-Edi Swasono,
kembali mengulas gugatannya, ia menegaskan sebaiknya MPR RI yang bekerja
berdasarkan amanat UU no 27 Tahun 2009 tersebut harus lebih bijaksana dan
berani mengoreksi kesalahan sekecil apapun termasuk pada gagasan sosialisasi 4
pilar yang justru kembali mengkebiri peranan Pancasila.
Menurutnya, Pancasila tak boleh diganggu gugat sebagai dasar negara,
sementara 4 pilar yang lebih tepat yaitu: 1. Proklamasi kemerdekaan (sebagai
pesan eksistensial tertinggi), 2. UUD 1945, 3. NKRI, 4. Bhineka Tunggal Ika,
sedangkan atap yang menaunginya adalah cita-cita nasional dalam teks pembukaan
UUD 1945. Dengan demikian bangunan negara dan Bangsa Indonesia tersebut akan
senantiasa kokoh di tengah iklim borderless state sekarang ini. Saya
pribadi merasa polemik ini akan membawa manfaat, setidaknya publik yang kian
apatis ini dapat turut memperhatikannya melalui perantara media massa, terlebih
kalau lembaga MPR RI tersebut benar-benar bijak mau menyempurnakan ulang
kebijakan inovatifnya tersebut.
Bangsa kita sedang terkoyak, dari luar kita dijadikan sasaran penghisapan
oleh kepentingan asing, sementara di dalam, kita masih terpuruk dengan benang
kusut budaya korupsi anggaran negara, kerusuhan sosial dan konflik horizontal,
lemahnya taraf hidup masyarakat, minimnya akses pendidikan dan kesehatan, juga
belitan persoalan lainnya. Pancasila sebagai gagasan pencerah semestinya
dapatlah kembali menginsprasi jiwa kita secara utuh sebagai Bangsa merdeka yang
punya kemampuan untuk mewujudkan cita-cita nasional tentang Bangsa Indonesia
yang berdaulat, mandiri, berkepriadian, adil dan makmur.
Saddam Cahyo, sekretaris Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi
(LMND) Eksekutif Wilayah Lampung dan Mahasiswa Sosiologi FISIP Unila
Tidak ada komentar:
Posting Komentar