Selasa, 16 Desember 2014

Dasar Kehidupan Bangsa

Bila dicermati, kini muncul pula permasalahan baru tentang pengukuhan Pancasila sebagai falsafah dasar kehidupan berbangsa dan bernegara. Maret 2013 lalu, ketua MPR RI Taufiq Kiemas mewakili lembaga negara yang dipimpin, memperoleh gelar kehormatan doctor honoris causa (H.C) dari Universitas Trisakti atas jasanya telah melahirkan gagasan sosialisasi empat pilar kebangsaan Indonesia, yakni Pancasila, Bhineka Tunggal Ika, Undang Undang Dasar (UUD) 1945, dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Gagasan yang gencar disosialisasikan sejak 3 tahunan lalu oleh lembaga MPR RI tersebut dinilai sangat efektif guna menanamkan kembali nilai-nilai luhur yang perlu dijadikan acuan dan pedoman bagi setiap warga negara dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Secara awam, mungkin kebijakan MPR itu perlu diapresiasi sebagai inovasi jitu mengatasi disorientasi Bangsa yang sedang berlangsung. Namun, masih ada banyak pihak yang cermat dan peduli, mereka segera merespon untuk mengoreksi langkah inovatif tersebut. Sejumlah ormas, elemen mahasiswa, LSM, partai politik, hingga tokoh nasional pun muncul dengan penolakan keras menuduhnya sebagai bentuk kesesatan berfikir, dan menuntut untuk tidak memposisikan Pancasila sebagai pilar dan disejajarkan dengan nilai-nilai lainnya.

MPR RI melalui wakil ketuanya Lukman Hakim Saifudin, mengklarifikasi agar masyarakat jangan salah mengerti, dalam KBBI pilar itu juga bisa diartikan sebagai dasar, maka juga berarti dasar penyangga kehidupan berbangsa untuk konteks Pancasila dalam konsep sosialisasi 4 pilar tersebut. Dalam artikel opininya di harian KOMPAS (1/6) kemarin, guru besar UI Prof. Sri-Edi Swasono, kembali mengulas gugatannya, ia menegaskan sebaiknya MPR RI yang bekerja berdasarkan amanat UU no 27 Tahun 2009 tersebut harus lebih bijaksana dan berani mengoreksi kesalahan sekecil apapun termasuk pada gagasan sosialisasi 4 pilar yang justru kembali mengkebiri peranan Pancasila.

Menurutnya, Pancasila tak boleh diganggu gugat sebagai dasar negara, sementara 4 pilar yang lebih tepat yaitu: 1. Proklamasi kemerdekaan (sebagai pesan eksistensial tertinggi), 2. UUD 1945, 3. NKRI, 4. Bhineka Tunggal Ika, sedangkan atap yang menaunginya adalah cita-cita nasional dalam teks pembukaan UUD 1945. Dengan demikian bangunan negara dan Bangsa Indonesia tersebut akan senantiasa kokoh di tengah iklim borderless state sekarang ini. Saya pribadi merasa polemik ini akan membawa manfaat, setidaknya publik yang kian apatis ini dapat turut memperhatikannya melalui perantara media massa, terlebih kalau lembaga MPR RI tersebut benar-benar bijak mau menyempurnakan ulang kebijakan inovatifnya tersebut.

Bangsa kita sedang terkoyak, dari luar kita dijadikan sasaran penghisapan oleh kepentingan asing, sementara di dalam, kita masih terpuruk dengan benang kusut budaya korupsi anggaran negara, kerusuhan sosial dan konflik horizontal, lemahnya taraf hidup masyarakat, minimnya akses pendidikan dan kesehatan, juga belitan persoalan lainnya. Pancasila sebagai gagasan pencerah semestinya dapatlah kembali menginsprasi jiwa kita secara utuh sebagai Bangsa merdeka yang punya kemampuan untuk mewujudkan cita-cita nasional tentang Bangsa Indonesia yang berdaulat, mandiri, berkepriadian, adil dan makmur.

Saddam Cahyo, sekretaris Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND) Eksekutif Wilayah Lampung dan Mahasiswa Sosiologi FISIP Unila

Tidak ada komentar:

Posting Komentar